3 April 2014

Jokowi, Prabowo dan Janji Kampanye

jkw4p
Semuanya gara-gara Jokowi. Tak berhitung bulan, 'bismillah' Jokowi pada 14 Maret untuk maju sebagai calon presiden merusak peta pertarungan ke tampuk istana, khususnya buat Prabowo—tokoh yang berpeluang paling besar menjadi presiden bila head to head dengan Megawati atau Aburizal Bakrie.

Jika tidak ada aral, insya Allah Jokowi atau Prabowo yang akan menjadi Presiden 2014. Dua nama yang menjadi berita ‘seksi’ di masa kampanye ini. Meski kepastian pencalonan mereka masih menunggu angka keramat ‘20 %' tapi setidaknya dari beberapa survei, nama keduanyalah yang menjadi pemuncak. Meski tidak berbanding lurus dengan popularitas partai, Aburizal Bakrie mungkin menjadi orang ketiga yang menghiasi pesta demokrasi tahun ini—minus elektabilitas memadai.

Saya rasa, inilah pesta demokrasi paling seru pasca reformasi: Pemilu 2014.

Politik adalah momentum. SBY menjadi sucess story-nya. Tahun 2014, dengan masa persiapan yang singkat, ia berhasil meraih kursi istana bermodal partai gurem: Demokrat. Sang tokoh reformasi, Amien Rais; dan incumbent, Megawati berhasil ditelikungnya.

Mundur dari kursi menteri, polesan jenderal teraniaya, tim pencitraan yang mumpuni dan anti tesa dari incumbent—SBY berhasil memanfaatkan momentum dan langgeng hingga dua periode.
Kini tongkat estafet itu siap berpindah.

9 April: Pileg atau Pilpres?

“Saya tidak akan memilih Jokowi pada 9 April nanti,” demikian status senada beberapa orang teman di Facebook.

Meski terkesan satir, status ini menyadarkan kita: pilpres belum dimulai. Bahkan Jokowi dan Prabowo pun belum pasti tampil—bila ambang batas 20 % tidak terpenuhi.

PDIP-Gerindra

Ya, sekarang kontestasi masih beragenda pemilihan legislatif. Pemilihan wakil ke Senayan dan kursi dewan di daerah. Sayangnya, entah karena menyadari ketiadaan isu besar dan figur yang gemuk modal sosial, alih-alih berkampanye tentang program, partai-partai malah sibuk menggotong calon presiden kesana kemari.

Miskin adu program, kaya debat black campaign capres yang belum tentu nyapres.

Di sosial media, perang antar tim capres begitu telanjang. Kentara kala mencermati tim sukses Jokowi vs Prabowo atau PKS vs PDI Perjuangan (vs adalah versus, bukanlah berarti permusuhan, hanyalah untuk memudahkan penyampaian pesan). Melegendanya tim online DKI 1 Jokowi menginspirasi tim sukses capres dan partai-partai untuk mengoptimalkan dunia maya. Tapi, mungkin, karena hanya perpindahan tim saja—Jokowi ke Prabowo dan sebaliknya—maka terasa riuhnya kicauan di media sosial kurang membawa dampak bagi demokrasi itu sendiri. Senjata antar tim sukses cenderung sama: negatif (bukan black!) campaign.

(kini ada amunisi tambahan yang lebih berbudaya: puisi dan pantun)

Saya sendiri berharap, ada partai yang menyerang program partai lainnya, salah satu contoh: partai Gerindra. Kupas dan bedah. Realistis atau utopis. Demikian juga sebaliknya. Bagaimana caranya memberantas korupsi yang dalam dua periode kepemimpinan Pak SBY seakan menjadi-jadi? Bagaimana keterwakilan perempuan di kabinet tidak menafikkan zaken? Bagaimana pemuda mendapat peran konkret dalam pembangunan? Mengapa dan bagaimana... Hingga perdebatan dan tweet-an berujung pencerdasan pada penonton (baca: pemilih).

Alhasil, yang didapatkan solusi bagi bangsa, dari apapun partainya. Hak ciptanya milik bangsa Indonesia. Kita semua.

Fenomena lain yang cukup menarik pada pemilu kali ini, tak bisa dipungkiri, ialah ‘Jokowi effect’—paham blusukan yang menular dalam pileg ini. Terbukti, kampanye terbuka kian tak diminati para caleg, dan pemilih. Sepi dan jauh dari hingar bingar, kecuali saat PKS di Gelora Bung Karno mungkin. Para caleg kini langsung blusukan ke jantung pemilih. Terjun langsung, bersama tim sukses atau lewat pamflet yang disebar. Iming-iming, janji-janji langsung ditebar ke konstituen, yang siap menagihnya.

Tidak ada yang salah dengan janji. Meski kini, berjanji seolah tabu. Laksana utang, janji harus dilaksanakan, bukan diingkari. Bila caleg tanpa janji dan komitmen, yang tersisa hanyalah serangan darat berupa amplop. Dan, saat itulah berakhirnya ikatan untuk 5 tahun. Bayar lunas di depan. Dan memburu balik modal selama 5 tahun. Pengalaman yang tentu tidak ingin kita ulangi bukan?

Foto: Tempo dan Google

Posting Komentar

Terima kasih atas komentar anda.