22 Juni 2012

Kangen Dewa 19, Kangen Legenda Musik Indonesia

band legendaris Dewa

Kuterimalah suratmu telah kubaca dan aku mengerti...


Dewa 19. Ya, Dewa 19, bukan Power Metal. Demikian kawan asli Surabaya dengan bangganya mengenalkan nama band tersebut. Meski berasal dari kota yang terkenal band metalnya, teman yang arek Suroboyo ini tetap ngeh dengan band ini. Lagunya pass di hati. Demikian memori terbang saat jauh dirantau. Jogja, awal 90-an.


Kenangan lama terkuak kembali. Meski tak selalu indah. Kangen, demikian judul lagu itu terdengar lekat. Sayup-sayup teringat, selain lagu ini, Tak Bisa ke Lain Hati-nya Kla Project juga kerap mengudara di radio pada masa itu. Menjadi pembuka sandiwara radio yang sayangnya saya lupa judulnya. Yang saya tahu, lewat radio kepunyaan satu orang kawan, kehidupan sekamar yang berjumlah 10 orang menjadi semarak. Kehidupan berasrama terhiasi oleh gemuruh kenangan ini.

Bagi anak belasan tahun, lagu cinta tak melulu berarti anjuran bercinta. Senang senandungnya sahaja sudah cukup. Begitulah yang saya, dan mungkin anda, alami dengan lagu tersebut. Ahmad Dhani, sang pencipta lagu, mulai mencipta liukan lirik yang menyayat hati itu pada usia penghujung belasan tahun. Sembilan belas. Gila!

Tak terasa dua puluhan tahun berlalu, Dewa 19 kian membesar dan melegenda. Selain Slank dan Gigi, Dewa 19 adalah grup band yang mungkin mengiringi perjalanan hidup kita, generasi 80-90an. Setiap episode hidup pastilah ada satu lagu yang berkesan khusus. Episode sedih, episode senang, pasti ada lagu mereka yang nyangkut. Dan kini, berbagai puja dan puji telah hinggap di bahu mereka.

Ku sebut nama-Mu di setiap hembusan nafasku, ku sebut namaMu, ku sebut namaMu

Di puncak pendakian musiknya, Ahmad Dhani mulai memasukkan unsur sufistik yang kental di setiap untaian lirik lagunya. Di tiga album terakhir Dewa, sentuhan ilahiah sangat kuat. Lirik gubahan Dhani menari-nari. Telinga Baladewa tanpa sadar dibawa dalam pengembaraan sufistik Dhani. Minat Dhani untuk mengeksplorasi tasawuf, tentu dapat dibaca dari nama ketiga anaknya: Al Ghazali, Jalaludin Rumi dan Abdul Qodir Jailani. Jauh-jauh hari Dhani sudah mempersiapkannya.


Kucoba kembangkan sayap patahku...

Perjalanan musikalitas Dewa, menurut saya, berbanding terbalik dengan pentolannya, Ahmad Dhani. Jika Dewa telah mencapai tahap kemapanan dalam bermusik dan menasbihkan diri sebagai salah satu legenda musik Indonesia—Dhani sebaliknya. Makin kesini, lagu dan lirik yang diciptakan semakin ringan dan kriuk. Penuh kompromi dengan selera pasar. Hingga akhirnya, lagu-lagunya—minus Dewa— menjadi langganan tampil di acara musik tv, pagi dan sore hari. Tentu dengan lipsync dan penonton alay. Sesuatu yang kontradiktif bila mengenang saat Dewa di puncak popularitas: tampil megah di panggung dengan ratusan ribu baladewa.

Neng Neng Nong Nang Neng Nong...


Tak aneh, karena dulu dia pernah mengeluarkan pernyataan akan fokus menjadi pemusik—tidak ingin menjadi bintang iklan, bintang infotainment dan bintang lainnya. Beberapa tawaran kontrak di luar musik kerap ditolaknya. Sekarang tidak lagi. Dhani telah menemukan mainan yang baru. Dia telah berpindah kuadran: menjadi pedagang musik. Apapun yang laku, juallah.

Hidup adalah perjuangan tanpa henti-henti...


Pencapaian demi pencapaian dalam hidup Dhani. Demikian yang saya saksikan di TV malam kemarin. Mahakarya Ahmad Dhani, tajuk konsernya. Pelakonnya siapa lagi kalo bukan titisan Bung Karno, Ahmad Dhani. Secara tersirat, dia mengatakan: "Anda boleh saja sombong, tapi karya andalah yang berhak menepuk dadanya." Dan untuk hal ini, Dhani selamat.

Bilapun kisah Dewa berakhir seperti Queen, band idola Dhani. Kita tentu tak sepenuhnya lupa, bahwa di Indonesia pernah ada sebuah band yang mampu mengawinkan idealisme dan komersialisme. Meracik lagu yang tak kacangan namun tetap laris di pasar. Dewa 19. Itu.


 
Kamulah satu-satunya yang ternyata mengerti aku...

Posting Komentar

Terima kasih atas komentar anda.