22 Maret 2013

Bagi Koruptor, Penjara Sudah Tak Menjadi Penjera!

antri penjara koruptor

Meski hobi, tak mudah bagi saya menulis setiap minggu, apalagi harian. Berat rasanya menggerakkan jemari di tengah keriuhan hidup. Terlebih untuk topik yang sama. Ya, sebagaimana Jokowi, kali ini saya akan mengangkat tentang TVRI (Televisi Republik Indonesia). Sekali lagi, TVRI. Jokowi dan TVRI disatukan dalam isu yang sama: korupsi. Demikian benang merah beberapa tulisan saya tentang keduanya.

Saya lagi tertarik menikmati geliat TVRI. Karena tidak sekedar latah, TVRI menawarkan ramuan baru dengan acara-acara solutifnya. Bila yang lain mengutuk kegelapan, TVRI coba menyalakan lilin. Saya melihat ikhtiar ini sebagai antitesa acara-acara debat yang menjadi primadona TV lainnya, Indonesia Lawyer Club contohnya. Meski tak anti, makin kesini saya makin jengah memirsanya.

Barusan saya menonton acara “Quo Vadis Indonesia” dengan host Todung Mulya Lubis. Bila tak salah ingat, acara ini menggusur acara ESQ di jam yang sama. Todung mengangkat isu korupsi tapi dengan pendekatan solutif. Tak tanggung-tanggung, Marzuki Ali, Gamawan Fauzi, Mahfud MD dan Bambang Widjojanto menjadi panelisnya. Tergambar betapa menukiknya topik yang dibahas.

Sebagaimana anda, setelah sekian lama mengamati acara-acara yang mengangkat tentang korupsi, saya mulai paham isi otak beberapa narasumber: mana yang hanya jago wacana, mana yang riuh dengan aksi; mana loyang, mana emas! Untuk nama-nama di atas, saya termasuk yang masih mempercayai tutur kata mereka.

Saya memang tidak dalam kapasitas merangkum obrolan menarik di acara bang Todung. Tapi setidaknya saya mencatat ada beberapa hal dari usulan mereka yang juga merupakan unek-unek terpendam saya. Ternyata, apa yang ada di otak saya tak terlalu jauh dengan mas Bambang. :)

Penjara tak jadi Penjera
Sudah lama saya memendam kegelisahan ini. Setidaknya saat Arswendo Atmowiloto kerap “mengkampanyekan” kisahnya di penjara. Bagaimana mungkin ada efek jera bila di dalamnya mereka bergelimang suap, narkoba, per-sodomi-an, dan sejenisnya?

Cerita Arswendo itu diperkuat dengan pengakuan seorang rekan yang mengatakan bahwa saudaranya telah dijebak oleh aparat dalam kasus narkoba. Sebagai pengedar, saudaranya mendapat hukuman setara bandar. Karena tak ada uang, tiada kata banding dalam hukumannya. Pada kesempatan berkunjung ke penjara, dia malah melihat begitu “bebasnya” mereka berbuat apa saja di dalam penjara. Ada yang tetap menjadi bandar narkoba, ada yang jualan pulsa, ada yang...

Setelah trilyunan anggaran negara habis untuk membangun penjara yang tanpa efek jera. Baru dari bibir Bambang Widjoyanto saya mendapatkan konfirmasi kegalauan. Sungguh, penjara tak benar-benar menjadi penjera.

Setelah Yusril, seorang pakar penjaga hukum, dalam beberapa kesempatan, melontarkan keresahan betapa mudahnya kita mempidanakan sebuah perbedaan. Mudahnya kita memenjarakan sebuah perselisihan. Mudahnya kita membuikan sebuah kekhilafan. Apapun kesalahannya, penjara hukumannnya!

Tidakkah kita berkaca bahwa sanksi sosial kadang lebih kuat dari sanksi pidana. Kerja sosial, publikasi di media, pengembalian kerugian negara, dan rumusan hukuman lainnya bisa kita pikirkan sebagai pengganti hukum pidana.

Pilkada yang Mahal
Nah, kegelisahan ini milik Gamawan Fauzi. Berkali-kali ia berusaha mempromosikan perubahan UU Pilkada. Pemilihan gubernur, kelak akan dikembalikan kepada anggota dewan. Mahfud MD mengamini seraya mengungkapkan kegetirannya saat menangani sengketa pilkada. Dulu yang korup hanya seratusan anggota dewan. Saat pilkada langsung, jutaan masyarakat menjadi pelakunya. Dia bersedia dicap tidak konsisten dalam hal ini. Saya juga demikian.

Usulan pilkada langsung ini, seyogyanya harus simultan dengan usulan Marzuki Ali, yaitu adanya pembatasan transaksi tunai, perbaikan sistem yang komprehensif dan pengumuman harta kekayaan pejabat secara reguler.

Zero condition

Entah benar tidak istilah akademisnya. Istilah ini hampir senafas dengan lontaran taubatan nasuha-nya Anis Mata. Ya, kita membutuhkan kembali ke titik nol. Sebagai negara demokratis yang diwakili partai, tanpa sadar, kita hidup dalam penyanderaan. Saling sandera. Lapindo, Century, korupsi sapi, pengadaan Alquran, cek pelawat, dan masih beberapa lagi yang bisa anda googling. Bolehkah saya tahu partai mana yang tak tersandera kini?

Dalam bayangan saya, karena kita bukan negara autopilot, maka Presiden harus mengambil alih drama penyanderaan ini. Meski juga tersandera, Presiden bisa memanggil pemimpin partai politik, tokoh masyarakat dan pemimpin umat yang menurut Sugeng Sarjadi tak lebih dari 500 orang. Untuk apa? Zero condition tentunya.

Berkaca dari KPK-nya Hongkong, tindakan pengampunan haruslah segera konkret. UU KPK telah mengisyaratkan demikian, tapi kita luput dalam penegakan hukumnya. KPK luput memberdayakan Kepolisian dan Kejaksaan. Pasca reformasi, setelah korupsi terlanjur membesar lagi, mereka saling sandera.

Meski telah banyak komisi-komisian, saya menyarankan Presiden SBY membentuk komisi pengembalian aset negara. Antrian koruptor yang tak ingin kasusnya dipidanakan hendaknya mengembalikannya hasil korupsinya kepada negara.

Setelah pengembalian, para koruptor hendaknya melakukan kerja sosial yang langsung bersentuhan dengan masyarakat. Usulan ini merupakan pengejawantahan poin pertama.

Tidak cukup sampai di situ, karena yang merasakan efek korupsi ini adalah masyarakat kecil, maka duit pengembalian itu haruslah sesegera mungkin digunakan untuk program pemberdayaan dan kewirausahaan berupa bantuan modal. Program semacam PNPM bisa menjadi teladan. Teman saya bercerita betapa efektifnya program ini.

***

Berkaca dari Anas, Andi dan Angelina, saya menulis kegelisahan ini. Boleh jadi saya bisa mengatakan tidak pada korupsi saat belum mendapatkan kesempatan. Setelah mendapatkan kekuasaan, bisa jadi saya lebih...

Wallahu a'lam.

Posting Komentar

Terima kasih atas komentar anda.